Pengenalan

Diabetes adalah penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah, atau lebih dikenali sebagai hiperglikemia. Ini terjadi kerana tubuh tidak menghasilkan cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin tersebut dengan efektif.1–4 Diabetes merupakan salah satu penyakit tidak menular yang paling biasa di seluruh dunia. Menurut International Diabetes Federation, dalam Diabetes Atlas 2021, sekitar 537 juta dewasa antara 20 hingga 79 tahun mengalami diabetes, atau 10.5% dari populasi global. Lebih dari separuh daripada mereka, sekitar 240 juta orang, tidak menyadari bahwa mereka menghidap penyakit ini. Di Indonesia, diperkirakan 19.5 juta orang dewasa mengidap diabetes, dan 73% di antaranya belum didiagnosis. Untuk kategori orang yang berumur di bawah 60 tahun, diabetes menyumbang 32.6% dari angka mortalitas. Selain itu, diabetes memiliki kadar kematian sekitar 6%.3 Beberapa risiko diabetes meliputi tingkat asam urat yang tinggi, tidur yang buruk, merokok, depresi, penyakit jantung, hipertensi, dan obesitas.2 Gejala diabetes bisa muncul dengan tiba-tiba atau secara perlahan, seperti rasa haus dan lapar yang berlebihan, buang air kecil yang sering, serta kelelahan dan penurunan berat badan.1,4

Vitamin D pula adalah vitamin yang larut dalam lemak dan penting untuk mengekalkan keseimbangan kalsium dan fosfor.6 Kekurangan vitamin D dapat disebabkan oleh konsumsi yang tidak cukup, metabolisme berlebihan, produk dalam kulit yang tidak efisien, atau kurangnya paparan sinar matahari.7 Kekurangan vitamin D kini sudah menjadi pandemi global, mempengaruhi sekitar 15.7% dari populasi dunia. Di Indonesia, penelitian menunjukkan prevalensi kekurangan vitamin D berkisar antara 60 hingga 90%.6,8 Biasanya, orang dengan kekurangan vitamin D tidak menunjukkan gejala klinis.6,9 Namun, ada penelitian yang menunjukkan, individu dengan kekurangan vitamin D mengalami 48% penurunan dalam sekresi insulin jika dibandingkan dengan individu yang memiliki kadar vitamin D yang optimal.10 Ini menunjukkan relevansi antara kekurangan vitamin D dan diabetes, sejalan dengan temuan Gopika et al di India yang menemukan kekurangan vitamin D pada 86 dari 116 pasien diabetes yang diteliti.9

Xerostomia atau mulut kering adalah kondisi subjektif yang dirasakan seseorang akibat kurangnya sekresi air liur atau disfungsi kelenjar air liur.5,11 Beberapa gejala xerostomia termasuk mulut kering, sensasi terbakar di rongga mulut, perubahan rasa, serta kesulitan saat mengunyah atau berbicara.11 Xerostomia bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari gangguan kelenjar air liur, terapi seperti radioterapi, efek farmakologi obat, hingga penyakit sistemik seperti diabetes.5,11,12 Kejadian xerostomia di tingkat global mencapai 22%, sementara 42.22% dari pasien diabetes juga mengalami kondisi yang sama.11,13 Ini berarti hampir separuh dari pasien diabetes merasakan xerostomia. Selain itu, kekurangan vitamin D dan diabetes dapat berpengaruh terhadap sensasi lidah terbakar serta perubahan cita rasa.14–16 Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk menganalisis hubungan antara perubahan rasa dan sensasi lidah terbakar yang terkait dengan xerostomia pada individu dengan diabetes dan kekurangan vitamin D.

Laporan Kasus

Seorang pasien wanita berusia 44 tahun datang ke Departemen Ilmu Kedokteran Gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut FKG Unpad, melaporkan bahwa lidahnya terasa sakit, terbakar, dan tidak nyaman, terutama di sisi kiri, selama seminggu terakhir. Gejala muncul setelah ia mengonsumsi makanan pedas, asam, atau panas dan terasa semakin parah saat bangun pagi atau kurang cairan. Rasa nyeri dan terbakar hilang saat mengonsumsi minuman atau makanan dingin. Pasien juga mengeluhkan cita rasa makanan yang menjadi tawar, sehingga nafsu makannya menurun. Pasien tidak memiliki riwayat sariawan recidif atau alergi terhadap makanan atau obat. Ia menyikat gigi dua kali sehari, di pagi hari sebelum sarapan dan malam sebelum tidur, tanpa menggunakan obat kumur atau membersihkan lidahnya. Ia juga mengonsumsi sekitar 2 liter air mineral setiap hari serta rutin mengonsumsi buah dan sayuran. Pasien menolak kebiasaan merokok atau mengonsumsi alkohol dan tidak memiliki riwayat penyakit sistemik atau riwayat keluarga dari penyakit yang sama.

Kondisi umum pasien tampak cukup baik, kesadarannya normal, dan hasil pemeriksaan tanda vital juga dalam batas normal. Tinggi badan pasien 155 cm dan berat badan 68 kg. Pemeriksaan luar menunjukkan wajah simetris dengan bibir kering dan terkelupas, tetapi tidak menyakitkan (Gambar 1). Kelenjar getah bening tidak teraba dan tidak nyeri, dan pemeriksaan sendi temporomandibular menunjukkan adanya klik di daerah kanan namun tidak nyeri. Pemeriksaan intraoral memperlihatkan lidah bagian dorsal dengan plak kuning-putih yang dapat diangkat tanpa meninggalkan eritema. Lidah juga menunjukkan pola depapilasi, ditandai dengan elevasi putih yang terdemarkasi tidak teratur di sepertiga posterior permukaan dorsal lidah, namun tidak ada keluhan rasa sakit (Gambar 1). Beberapa gigi menunjukkan karies superfisial dan daerah edentulus dipenuhi dengan gigi tiruan. Indeks Kebersihan Mulut Sederhana (OHI-s) pasien mencatat skor 0.3, menandakan kebersihan mulut yang baik (Gambar 1).

ywAAAAAAQABAAACAUwAOw==

Gambar 1 Kondisi klinis rongga mulut pasien saat kunjungan pertama. Bibir yang kering dan terkelupas (A); Mukosa labial bagian atas dan bawah, mukosa bukal kanan dan kiri, lidah lateral kanan dan kiri, permukaan ventral lidah, dasar mulut, dan mukosa palatum berada dalam kondisi normal (B–E, GK); Lidah geografis pada sepertiga posterior permukaan dorsal lidah (F).

Pemeriksaan psikologis dilakukan untuk mencari faktor risiko gejala depresi, kecemasan, dan stres dari keluhan pasien dengan menggunakan kuesioner Depression Anxiety Stress Scale-21 (DASS-21). Hasil pemeriksaan DASS-21 menunjukkan bahwa pasien tidak mengalami gejala depresi (8), kecemasan (4), atau stres (4). Kualitas hidup terkait kesehatan mulut dinilai menggunakan kuesioner Oral Health Impact Profile-14 (OHIP-14), yang terdiri dari 14 item yang mengevaluasi tujuh dimensi. Pasien memberikan penilaian frekuensi masing-masing item dari 0 hingga 4 (0 = tidak pernah, 1 = sangat jarang, 2 = kadang-kadang, 3 = sering, dan 4 = sangat sering). Skor total OHIP-14 pasien adalah 15, yang menunjukkan kualitas hidup terkait kesehatan mulut yang baik (skor OHIP-14 0–18 = OHRQoL baik, 19–37 = OHRQoL moderat, dan 38–56 = OHRQoL buruk).17,18 Pemeriksaan hematologi lengkap menunjukkan hasil normal pada semua parameter pemeriksaan (Tabel 1).

ywAAAAAAQABAAACAUwAOw==

Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Hematologi

Pasien didiagnosis dengan cheilitis eksfoliatif, diduga mengalami sindrom mulut terbakar, dan lidah geografis di sepertiga posterior bagian dorsal lidah. Terapi non-farmakologis diberikan berupa instruksi untukmembersihkan gigi dan mulut menggunakan sikat gigi berbulu lembut dua kali sehari, di pagi hari setelah sarapan dan pada malam hari sebelum tidur, dengan menyikat lidah menggunakan pembersih lidah atau sikat gigi dalam satu arah keluar. Pasien diberi edukasi untuk menghindari makanan pedas, asam, dan terlalu panas, serta menjaga gaya hidup yang sehat, seperti tidak begadang, meminum sedikitnya 2 liter air mineral sehari, dan rutin mengonsumsi buah dan sayuran. Terapi farmakologis berupa instruksi untuk berkumur dengan obat kumur yang dipatenkan dengan klorin dioksida dan zinc sebanyak 10 mL sebanyak tiga kali sehari, berkumur selama 1 menit lalu buang. Pasien juga diinstruksikan untuk tidak makan atau minum selama 30 menit setelah berkumur. Oleskan lapisan tipis petroleum jelly pada bibir atas dan bawah tiga kali sehari, dan mengonsumsi multivitamin (vitamin E 30 IU, vitamin C 750 mg, asam folat 400 mcg, vitamin B1 15 mg, vitamin B2 15 mg, niasin 100 mg, vitamin B6 20 mg, vitamin B12 12 mcg, asam pantotenat 20 mg, dan zinc 22.5 mg) satu kali sehari setelah makan. Pasien diminta kontrol tujuh hari kemudian.

Pada kunjungan kedua, keluhan rasa nyeri mulut dan sensasi terbakar di lidah jauh berkurang setelah menggunakan obat kumur yang diresepkan. Pasien merasa nyaman saat makan, tetapi cita rasa makanan masih terasa tawar. Namun, pasien tidak mengikuti instruksi untuk membersihkan lidahnya karena masih merasa nyeri, dan ia juga tidak melanjutkan mengonsumsi multivitamin karena perutnya terasa kembung. Di sisi lain, pasien merasakan mulutnya terasa kering sejak tiga bulan terakhir, semakin memburuk sehingga ia sering minum untuk mengurangi keluhan tersebut. Keluhan ini muncul setelah pasien mengalami perubahan pada siklus menstruasi, di mana menstruasi mengalami keterlambatan dan berakhir lebih cepat. Setelah penyelidikan lebih lanjut, pasien juga sering buang air kecil malam hari, turun berat badan sebanyak 5 kg dalam 3 bulan, dan merasakan nyeri seluruh tubuh. Ternyata pasien sudah didiagnosis dengan kekurangan vitamin D selama 20 tahun dan belum mendapatkan terapi. Riwayat keluarga pasien juga menunjukkan adanya diabetes dari kedua orang tuanya.

Pada pemeriksaan klinis saat kunjungan kedua, kondisi umum pasien menunjukkan perbaikan. Bibir dan dorsal lidah pasien tampak membaik, walaupun terdapat papila lidah yang memanjang dan berbulu di sepertiga posterior lidah (Gambar 2). Pemeriksaan subjektif dan objektif xerostomia menggunakan kuesioner Summated Xerostomia Inventory-Indonesian Version (SXI-ID) memperoleh skor 20, diikuti dengan pemeriksaan Clinical Oral Dryness Scoring System (CODS) yang memperoleh skor 3 per 10 (cermin lengket di lidah, terdapat air liur berbuih, dan tidak adanya penumpukan air liur di lantai mulut), sehingga disimpulkan bahwa pasien mengalami xerostomia ringan. Tingkat aliran air liur tak terstimulasi dievaluasi menggunakan pemeriksaan sialometri dengan metode pembagian. Pasien diminta duduk tenang dan tidak berbicara sebelum prosedur. Pasien juga harus berkumur dan santai selama lima menit sebelum prosedur. Setelah memiringkan kepala pasien sedikit ke depan, mereka diminta menahan air liur di lantai mulut selama satu menit sebelum meludah ke dalam tabung. Volumenya diukur dengan menggunakan indikator tabung air liur, biasanya selama lima menit. Aliran saliva dinyatakan dalam mL/menit. Hasil pemeriksaan saliva tak terstimulasi menunjukkan nilai di bawah normal 0.2 mL/menit (Gambar 3).

ywAAAAAAQABAAACAUwAOw==

Gambar 2 Kondisi lidah pasien pada kunjungan kedua (A), dan pada kunjungan ketiga (B). Terlihat perbaikan pada dorsal lidah.

ywAAAAAAQABAAACAUwAOw==

Gambar 3 Pengukuran tingkat aliran saliva tak terstimulasi pada kunjungan kedua (A) dan ketiga (B). Terlihat perubahan hasil pengukuran aliran saliva tidak terstimulasi.

Diagnosis sindrom mulut terbakar yang dicurigai dihapus dan diganti dengan xerostomia ringan berdasarkan skala Challacombe. Terapi non-farmakologis dilanjutkan dan pasien dididik kembali untuk menyikat bersih lidah setelah menyikat gigi. Pasien diinstruksikan untuk berhenti menggunakan obat kumur paten klorin dioksida dan zinc, serta multivitamin, dan terus mengoleskan lapisan tipis petroleum jelly pada bibir. Terapi farmakologis diberikan dalam bentuk instruksi untuk menerapkan gel pengganti air liur berbasis karboksimetilselulosa (CCMC) dengan etil p-hidroksibenzoat pada mukosa bukal kiri dan kanan, lidah, dan dasar mulut tiga kali sehari selama 30 menit sebelum makan, dan mengonsumsi vitamin neurotropik (vitamin B1 100 mg, vitamin B6 200 mg, dan vitamin B12 200 mg) satu kali sehari setelah makan. Pasien juga dirujuk untuk pemeriksaan HbA1c dan vitamin D 25 (OH).

Dua minggu kemudian, saat kunjungan ketiga, pasien tidak lagi mengeluhkan sensasi terbakar di lidah atau rasa nyeri pada mulut. Keluhan mulut kering juga sudah hilang. Pasien merasa nyaman saat makan, dan rasa makanan kembali normal. Pasien telah mengikuti instruksi untuk membersihkan lidahnya dua kali sehari menggunakan pembersih lidah. Pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa bibirnya sembuh dan kondisi dorsal lidahnya membaik (Gambar 2). Pemeriksaan CODS dievaluasi ulang, dan hasilnya menunjukkan tidak ada lagi air liur yang lengket di lidah, tidak ada air liur berbuih, dan terdapat penumpukan air liur pada lantai mulut, sehingga disimpulkan bahwa xerostomia pasien telah sembuh. Hasil pemeriksaan aliran saliva tak terstimulasi menggunakan protokol yang sama seperti sebelumnya menunjukkan hasil normal (0.4 mL/menit) (Gambar 3). Pasien didiagnosis menderita diabetes dan kekurangan vitamin D, dengan hasil HbA1c sebesar 11% dibandingkan nilai normal <5.7% dan hasil vitamin D 25 (OH) sebesar 12.5 ng/mL dibandingkan nilai normal >30 ng/mL. Terapi non-farmakologis dilanjutkan, pasien diinstruksikan untuk berhenti menggunakan gel pengganti saliva berbasis CCMC dan melanjutkan mengonsumsi vitamin neurotropik bersama dengan vitamin D3 dengan dosis 1000 IU sekali sehari selama 10 minggu. Pasien juga dirujuk ke departemen penyakit dalam untuk manajemen diabetesnya.

Diskusi

Diabetes dan kekurangan vitamin D sering kali sulit didiagnosis karena pasien sering tidak menyadari kondisi mereka. Penyakit ini biasanya terdeteksi secara tidak sengaja setelah pemeriksaan laboratorium. Deteksi dini dan pengaturan gula darah yang lebih baik adalah tujuan utama dalam penanganan diabetes.1,6,8 Dalam kasus ini, pasien tidak menyadari bahwa ia mengidap diabetes. Ia juga tidak menyadari kapasitas vitamin D yang rendah, karena tidak ada gejala setelah didiagnosis kekurangan vitamin D 20 tahun yang lalu. Berdasarkan faktor risiko dari pasien, terdapat riwayat diabetes dari kedua orang tuanya, riwayat kekurangan vitamin D yang tidak diobati, perubahan hormonal seiring dengan siklus menstruasi yang tidak teratur, dan BMI pasien yang menunjukkan kelebihan berat badan (28.3). Penurunan berat badan, frekuensi buang air kecil malam, dan nyeri seluruh tubuh adalah indikasi adanya diabetes serta kekurangan vitamin D. Gejala di rongga mulut mencakup bibir yang kering dan terkelupas; mulut terasa kering yang menyebabkan pasien sering minum; rasa nyeri dan terbakar pada lidah; dan penurunan cita rasa._RPH: Ahli_

Kekurangan vitamin D yang berkepanjangan dan tidak terkontrol dapat berhubungan dengan diabetes, khususnya pada pasien yang sudah terdiagnosis dengan vitamin D yang rendah tetapi tidak dirawat. Vitamin D membantu pankreas memproduksi insulin dengan cara mengatur kadar kalsium di dalam sel. Ada juga penelitian yang mengaitkan bentuk variasi pada gen reseptor vitamin D dengan fungsionalitas protein reseptor tersebut. Kadar vitamin D yang rendah berkaitan dengan sindrom metabolik serta peningkatan resistensi insulin. Disfungsi sel beta dan resistensi insulin juga terkait dengan kadar vitamin D yang rendah dan peningkatan HbA1c, seperti yang terlihat pada penelitian ini di mana hasil HbA1c pasien di atas normal.9,10 Kekurangan vitamin D dapat merangsang proses lipogenesis, yang berujung pada peningkatan lemak tubuh. Kemudian terlihat juga ada hubungan antara ekspresi VDR dalam jaringan adiposa dan kurangnya vitamin D pada orang yang obesitas.19 Kadar vitamin D yang rendah akan memicu aktivitas VDR dalam adiposit, berpengaruh negatif terhadap metabolism energi, dan akhirnya meningkatkan risiko obesitas. Hasil ini terlihat pada BMI pasien yang tergolong dalam kategori kelebihan berat badan.

Xerostomia yang terkait dengan diabetes bisa disebabkan oleh dehidrasi akibat hiperglikemia, neuropati diabetes, serta perubahan struktur pada kelenjar air liur. Peningkatan diuresis pada pasien secara signifikan mengurangi cairan ekstraseluler, yang langsung berefek pada produksi air liur. Gejala xerostomia semakin memburuk pada kondisi metabolik yang tidak stabil karena dehidrasi yang memperparah osmotic gradient di saluran darah sehubungan dengan kelenjar air liur, sehingga mengurangi output saliva. Berbagai penelitian observasional menunjukkan bukti ilmiah tentang perubahan seluler yang disebabkan oleh diabetes mellitus dan penurunan aliran air liur, seperti yang terlihat pada pasien di mana hasil aliran salivanya menunjukkan nilai di bawah normal.2,7,10 Beberapa studi menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara penurunan aliran air liur dengan xerostomia pada pasien diabetes. Contoh dari penelitian Sanchez et al dalam studi cross-sectional menunjukkan bahwa setengah dari pasien diabetes mengalami xerostomia (52.4%). Penelitian lain oleh Ashwaq et al juga menemukan berbeda signifikan pada metabolit saliva antara individu dengan diabetes dan kontrol sehat, di mana metabolit terapi, termasuk vitamin D, sangat rendah pada pasien diabetes.20,21

Baik kekurangan vitamin D, xerostomia, maupun diabetes dapat berhubungan dengan sensasi lidah terbakar dan perubahan rasa yang dialami pasien. Penurunan aliran air liur dan kondisi mulut yang kering dapat memengaruhi saraf sensorik. Lebih lanjut, gejala lidah terbakar dapat dihubungkan dengan kekurangan mikronutrien, termasuk vitamin D, yang dapat menyebabkan perubahan neurodegeneratif dan neuropati perifer atau pusat.22 Defisit mikrovaskular, neuropati sensorik, atau efek kenikmatan yang tidak spesifik akibat kadar gula darah yang tinggi juga dapat menyebabkan perubahan rasa pada diabetes.14–16

Pada terapi awal, kami memberikan obat kumur berbasis klorin dioksida dan zinc untuk mengurangi keluhan tentang lidah yang terbakar dan berfungsi sebagai antiseptik di rongga mulut pasien. Obat kumur ini mengandung oksidator kuat yang dapat membunuh bakteri dan memiliki manfaat untuk proses penyembuhan sel, khususnya sel fibroblas. Petroleum jelly bertugas menjaga kelembaban pada bibir kering pasien dengan mencegah kehilangan air.21 Penanganan untuk pasien xerostomia tergantung pada tingkat keparahan xerostomia. Menggunakan gel pengganti saliva berbasis karboksimetilselulosa (CCMC) yang mengandung etil p-hidroksibenzoat dapat membantu mengatasi keluhan xerostomia. Gel berbasis etil p-hidroksibenzoat ini dapat menstabilkan pH mulut menjadi netral, sehingga meningkatkan hasil aliran saliva. Oleh karena itu, pada kunjungan ketiga, aliran saliva meningkat, dan tidak ada lagi keluhan mulut kering.22

Kesimpulan

Keluhan mulut seperti lidah terbakar dan perubahan rasa yang berkaitan dengan xerostomia mungkin berhubungan dengan penyakit sistemik seperti diabetes dan kekurangan vitamin D, yang sering kali tidak menunjukkan gejala klinis, di mana pasien sering tidak menyadarinya. Anamnesis yang lengkap, termasuk riwayat medis keluarga, dibutuhkan untuk mengidentifikasi risiko diabetes yang tidak terdiagnosis dan kekurangan vitamin D. Selain itu, pemeriksaan objektif dan tes penunjang seperti HbA1c dan kadar vitamin D 25 (OH) sangat penting untuk menentukan akar penyebab keluhan pasien. Tes ini juga menjadi pertimbangan dasar untuk terapi dan rujukan yang tepat, memastikan pasien mendapatkan penanganan yang optimal.

Pernyataan Persetujuan

Pasien telah memberikan persetujuan tertulis dan sadar untuk publikasi laporan kasus ini, termasuk gambar-gambarnya. Institusi juga telah menyetujui publikasi artikel ini.

Penghargaan

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nanan Nur’aeny, drg., Sp.PM., Subsp.Non.Inf. (K), yang telah membimbing dan memberikan arahan terkait perawatan pasien serta pembuatan laporan kasus ini, serta kepada Adrianus Surya Wira Rajasa, drg., sebagai pendamping senior dalam menangani kasus ini. Terima kasih juga kepada pasien dan keluarganya atas kerjasama, pengertian, dan keinginan untuk terlibat dalam penyusunan laporan kasus ini.

Pernyataan Pengungkapan

Penulis melaporkan tidak ada konflik kepentingan dalam karya ini.

Referensi

1. Siva Kumar B. Dampak negatif pada kualitas hidup: diabetes yang tidak terdeteksi. Acta Scientific Clin Case Rep. 2024:21–23. doi:10.31080/ASCR.2024.05.0498.

2. Ismail L, Materwala H, Al Kaabi J. Hubungan faktor risiko dengan diabetes tipe 2: tinjauan sistematis. Comput Struct Biotechnol J. 2021;19:1759–1785. doi:10.1016/j.csbj.2021.03.003.

3. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas. 2021. Available from: Diakses November 22, 2024.

4. World Health Organization. Diabetes. 2023. Available from: Diakses November 22, 2024.

5. Glick M, Greenberg MS, Lockhart PB, et al. Burket’s Oral Medicine – Michael Glick. Edisi 13. Wiley; 2021:1136. ISBN: 978-1-119-59781-0.

6. Cui A, Zhang T, Xiao P, Fan Z, Wang H, Zhuang Y. Prevalensi global dan regional kekurangan vitamin D dalam studi berbasis populasi dari 2000 hingga 2022: analisis gabungan dari 7.9 juta peserta. Front Nutr. 2023;10:1. doi:10.3389/fnut.2023.1070808.

7. Wimalawansa SJ. Hubungan vitamin D dengan resistensi insulin, obesitas, diabetes tipe 2, dan sindrom metabolik. J Steroid Biochem Mol Biol. 2018;175:177–189. doi:10.1016/j.jsbmb.2016.09.017.

8. Tantri A, Soenarto R, Firdaus R, Theresia S, Anakotta V. Rendahnya insiden kadar vitamin D dalam resident anestesiologi: studi retrospektif, lintasan. Bali J Anaesthesiol. 2022;6(4):210. doi:10.4103/bjoa.bjoa_172_22.

9. Vijay GS, Ghonge S, Vajjala SM, Palal D. Prevalensi kekurangan vitamin D pada pasien diabetes melitus tipe 2: studi cross-sectional. Cureus. 2023. doi:10.7759/cureus.38952.

10. Khudayar M, Nadeem A, Lodi MN, et al. Hubungan antara kekurangan vitamin D dan diabetes melitus tipe 2. Cureus. 2022;2:1.

11. Silveira Lessa L, Duarte Simões Pires P, Ceretta RA, et al. Meta-analisis prevalensi xerostomia pada diabetes melitus. Int Arch Med. 2015;8:1. doi:10.3823/1823.

12. Piliang A, Zakiawati D, Nur’aeny N. Xerostomia sebagai potensi kondisi pada pasien Covid-19 dengan tetanus: laporan kasus. Makassar Dent J. 2022;11(1):21–24. doi:10.35856/mdj.v11i1.501.

13. Agostini BA, Cericato GO, da SER, et al. Seberapa umum mulut kering? Tinjauan sistematis dan analisis meta-regresi dari perkiraan prevalensi. Braz Dent J. 2018;29(6):606–618. doi:10.1590/0103-6440201802302.

14. Asan MF, Babu GS, Ajila V, Achalli S. Gangguan rasa pada diabetes – sebuah wawasan. Rom J Diabetes Nutr Metab Dis. 2022;29:268–272.

15. Dumic Kubat K, Catamo E, Robino A, et al. Artikel 797920 Rade Vukovic, Institute for Health Protection of Mother and Child Serbia. Front Nutr. 2022;1:1.

16. Alsabbagh R, Ouanounou A. Sindrom mulut terbakar: etiologi, presentasi klinis, dan alternatif perawatan. Dent Rev. 2022;2(1):100036. doi:10.1016/j.dentre.2022.100036.

17. Campos LA, Peltomäki T, Marôco J, Jadb C. Penggunaan Oral Health Impact Profile-14 (OHIP-14) dalam konteks yang berbeda. Apa yang diukur? Int J Environ Res Public Health. 2021;18(24):13412. doi:10.3390/ijerph182413412.

18. Bakti F, Dewi T. Evaluasi kualitas hidup terkait kesehatan mulut pada pasien dengan herpes yang terasosiasi pada eritema multiforme: laporan kasus unik. Int Med Case Rep J. 2024;17:253–259. doi:10.2147/IMCRJ.S456301.

19. Md Isa Z, Amsah N, Ahmad N. Dampak kekurangan dan insufisiensi vitamin D pada hasil pasien diabetes melitus tipe 2: tinjauan sistematis. Nutrients. 2023;15(10):2310. doi:10.3390/nu15102310.

20. Gholizadeh N, Sheykhbahaei N. Status Mikronutrien Sebagai Faktor Kontribusi pada Sindrom Mulut Terbakar Sekunder: Sebuah Tinjauan Literatur. Vol. 7. Laporan Ilmu Kesehatan. John Wiley and Sons Inc; 2024.

21. Ruslijanto H, Amtha R, Meiyanti ME, Febrina S. Obat Topikal untuk Lesi Mulut: Pemilihan dan Cara Aplikasi. Juwono L, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2019:3–5.

22. Wicaksono IK, Wahyuni IS. Eksplorasi efektivitas dan keamanan agen pelembap oral untuk mulut kering dan xerostomia: tinjauan sistematis. Int J Appl Pharm. 2022;14:7–11. doi:10.22159/ijap.2022.v14s4.OP05.



Source link

-50%
Spray Mulut Oral spray to remove bad breath convenient mouth freshener spray breath freshener
Shopee.com.my
4.7
RM2.80 RM5.60
Spray Mulut Oral spray to remove bad breath convenient mouth freshener spray breath freshener
[READY STOCK]Breath cure Pewangi mulut Nafas berbau Merawat mulut busuk Suplemen mulut berbau ubat mulut
Shopee.com.my
4.8
RM25.00
[READY STOCK]Breath cure Pewangi mulut Nafas berbau Merawat mulut busuk Suplemen mulut berbau ubat mulut
Oral spray to remove bad breath convenient mouth freshener spray breath freshener pewangi mulut
Shopee.com.my
4.9
RM1.79
Oral spray to remove bad breath convenient mouth freshener spray breath freshener pewangi mulut

Leave a Reply